Opini

Pembuktian Hak Atas Tanah Hibah Secara Lisan


Penulis : Herry FF Battileo, SH,. MH.  Advokat/Pendiri dan Pengawas Lembaga Bantuan Hukum Surya NTT dan Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Media Online (MOI) Indonesi Provinsi Nusa Tenggara Timur

Betapa sulitnya membuktikan hak atas tanah karena jarang sekali ada bukti surat tentang alas hak atas tanah dan juga semua proses peralihan hak atas tanah dilakukan secara lisan terutama hibah yang seharusnya dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT).

Salah satu langkah membuktikan hak atas tanah adalah saksi dan okupasi yakni penempatan secara terus menerus atas obyek tanah.

Akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika pemilik yang menghibahkan tanah kepada pihak lain, meninggal dunia, anak atau cucunya meminta kembali obyek tanah yang telah dihibahkan tersebut. 

Fenomena ini sering terjadi hibah terhadap misi untuk bangun sekolah atau gereja, masjid dan lainnya, cucu penghibah pulang dari merantau menuntut kembali obyek tanah tersebut. 

Seharusnya obyek tanah yang telah dihibahkan kepada pihak lain maka hak milik atas obyek tanah tersebut telah beralih kepada penerima hibah, sehingga tidak boleh diminta kembali dengan alasan apapun.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, pasal 24 ayat (2), memberi jawaban atas kerumitan pembuktian hak atas tanah. Paragraf 2 Pembuktian Hak Lama Pasal 24 (2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat :
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya;
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Konsep norma...”Penguasaan tersebut baik sebelum pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lain” harusnya dipertegas demi suatu kepastian hukum bahwa “keberatan tersebut berlaku 30 hari dan setelah itu harus diikuti oleh gugatan, merujuk pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tata Cara Blokir dan Sita (“Permen ATR 13/2017”).
Jika tidak maka sertifikat harus tetap diproses sampai terbit sertifikat, karena kepemilikan tanah bukan semata ocupasi tapi ada peristiwa hukum dibalik itu seperti pewarisan, jual/beli dan hibah, namun sulit pembuktiannya karena hampir semuanya dilakukan secara lisan.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dalam membuktikan hak atas tanah walaupun cukup dengan okupasi secara terus menerus selama kurun waktu 20 tahun atau lebih, tapi harus diingat penguasaan tanah bukan hanya penguasaan semata tapi ada peristiwa hukum dibalik itu sehingga adanya keberatan tidak boleh berlaku sepanjang masa karena melanggar kepastian hukum .

Ada tanah yang dikuasai secara turun temurun, hanya karena ada yang keberatan, proses sertifikat terhenti tanpa ada kepastian sampai kapan status quo.

Untuk membuktikan adanya peristiwa hukum tersebut perlu ada saksi yang menerangkannya dan juga bukti pembayaran PBB walaupun bukan bukti hak atas tanah tapi setidaknya membuktikan orang yang menguasai dan memanfaatkan tanah.

Selain itu dapat dijadikan rujukkan adanya beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang memuat kaidah hukum :
Bahwa orang-orang yang tidak menguasai tanahnya selama kurun waktu yang lama, dianggap orang tersebut telah melepaskan atau meninggalkan haknya. Sebaliknya secara otomatis orang yang menguasai atau menduduki tanah secara terus menerus secara itikad baik tanpa ada keberatan dari pihak lain akan dilegitimasi dan melegalisasi sebagai pemilik.

Dengan demikian keberatan yang diajukan oleh pihak lain tanpa disertai bukti hak harus diabaikan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Hakim dalam mengadili sengketa hak atas tanah  jangan bersikap formal legalisitik semata, tapi harus menggali kebenaran materiil berdasarkan adat kebiasaan masyarakat setempat dalam melakukan perbuatan hukum terhadap obyek tanah. (Di Kutip dari berbagai sumber) 


Lebih baru Lebih lama