Jakarta, KP
Tindakan Kekerasan, Represif, anarkis dan intimidasi yang telah dilakukan oleh anggota Kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu, merupakan tindakan pelanggaran hukum sebagaimana mandat dari Undang-undng Dasar 1945 yang terdapat pada Pasal 18 B ayat (2) diatur bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Selain itu, Pasal 28I ayat (3) juga diatur bahwa "Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban." Berdasarkan pada konstitusi tersebut bahwa masyarakat adat yang sepatutnya dilindungi, dihormati dan diakui oleh Pemerintah, baik itu Pemerintah Pusat, Propinsi dan pemerintah daerah.
Pada kasus masyarakat adat Rendu, terdapat penolakan dari masyarakat adat Rendu, baik itu dilakukan oleh tokoh masyarakat adatnya, perempuan, anak dan lansia. Perempuan-perempuan (mama) melakukan aksi protes dengan tidak menggunakan bajunya, ini sebagai simbol perlawanan atas sikap pemerintah yang telah mengambil hak-hak masyarakat adat.
Menyoroti masalah yang terjadi dengan masyarakat adat Rendu, PPMAN yang merupakan organisasi yang beranggotakan 120 orang pengacara Masyarakat Adat diseluruh Indonesia maka hari ini 20 Sesember 2021, Perwakilan Pengacara dari PPMAN mendatangi PROPAM dan Mabes Polri untuk melaporkan tindak kekerasan dan perusakan yang dilakukan oleh anggota kepolisian di Polres Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap upaya penolakan pembangunan waduk Mbay/Lambu di Rendubutowe, Kabupaten Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
PPMAN yang diketuai oleh Syamsul Alam Agus yang mendatangi Propam Mabes Polri menyampaikan bahwa Untuk memastikan akuntabilitas anggota polri dalam menginplementasikan nilai2 hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugasnya, PPMAN selaku advokat pembela masyarakat adat mengajukan pelaporan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu.
Di tempat terpisah, Nur Amalia yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Nasional PPMAN menyampaikan bahwa tindakan anggota kepolisian Polres Nagekeo telah merendahkan harkat dan martabat perempuan adat di Rendubutowe yang berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya. Advokat perempuan senior ini menambahkan bahwa aksi yang dilakukan oleh perempuan adat Rendu dengan membuka pakaian saat anggota kepolisian Polres Nagekeo mencoba untuk membongkar paksa pagar rumah jaga adalah sebagai salah satu bentuk perlawanan perempuan adat atas ketidakadilan yang dialami. Aksi tersebut merupakan ujung dari perjuangan perempuan adat untuk menunjukkan bahwa itu adalah simbol kehidupan yang akan menghidupi generasi penerus Masyarakat Adat Rendu telah dirampas oleh Negara secara struktural.
Dihubungi melalui telephon, advokat yang merupakan anggota PPMAN, yang saat ini sedang melakukan pendampingan terhadap masyarakat adat Rendu menyampaikan bahwa Masyarakat Adat Rendu, Lambo, dan Ndora Menolak Lokasi Pembangunan Waduk di Lowo Se. Adapun alasan Penolakannya yaitu pertama: Lowo Se merupakan tanah Milik Masyarakat Adat Rendu, Kedua: akan kehilangan tempat ritus- ritus adat, kuburan leluhur, padang ternak, pemukiman dan Lahan Pertanian serta Fasilitas Publik. Komunitas yang akan terkena dampak jika Waduk dibangun di Lowo Se adalah Rendu, Lambo dan Ndora. Ketiga: Bertentangan dengan Perda RTRW Kab. Nagekeo No. 1 tahun 2011.
Berdasarkan alasan alasan diatas maka Masyarakat Adat Rendu, Lambo dan Ndora tetap komit menolak Lokasi pembangunan waduk di Lowo Se. Sebagai bentuk dari penolakan itu maka sejak tanggal 9 Desember 2021 hinggah hari ini Masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora terus melakukan Penghadangan di Pintu Masuk Lokasi Lowo Se. Walaupun Masyatakat adat harus berhadapan dengan aksi represif aparat di lapangan sampai ada anggota Masyarakat adat atas nama Antonius Api warga Rendu diciduk dan diamankan. Peristiwa pencidukan terjadi pada hari senin tanggal 20 Desember 2021 sekitar pukul 09 Wita dan setelah dilakukan upaya negosiasi oleh anggota PPMAN dilapangan maka Antonius Api berhasil dilepas.
PPMAN akan terus mengawal laporan ke Propam Mabes POLRI dan lembaga terkait lainnya atas perilaku kekerasan dan pengerusakan yang telah dilakukan oleh anggota kepolisian Polres Nagekeo,
PPMAN meminta dan mendesak agar Kapolri, untuk segera melakukan pemantauan dan evaluasi, melakukan penegakan disiplin, dan memberikan sanksi terhadap anggota kepolisian Polres Nagekeo yang telah menyalahgunakan kekuasaan.
PPMAN juga akan meminta dukungan dari berbagai lembaga ekesekutif, legislatif, lembaga HAM, dan berbagai organisasi kemasyarakatan untuk melakukan pengawasan pada kasus ini, hal ini agar tercapainya keadilan bagi korban masyarakat adat Rendu yang saat ini masih bertahan di tanah leluhurnya.
PPMAN juga akan meminta dukungan dari berbagai lembaga untuk melakukan pengawasan pada kasus ini, hal ini agar tercapainya keadilan bagi korban masyarakat adat Rendu yang saat ini masih bertahan di tanah leluhurnya.(kp/tim)