Opini
Penulis: Andre Lado (Sekretaris DPW MOI NTT)
Sebelum kita ke pokok atau inti dari persoalan yang diangkat dalam tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini hanya merupakan pandangan hukum dari penulis. Kurang lebih terhadap isi dari sebuah tulisan sederhana ini mohon dimaafkan, sebab penulis menyadari bahwa pandangan hukum penulis masih belum sempurna. Atas perhatiannya penulis mengucapkan limpah terimakasih.
Pinjam meminjam adalah hal yang sering kita jumpai dan sudah lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas pinjam meminjam umumnya dilakukan oleh pihak perbankan yang dimana termuat mekanisme pembayaran dalam sebuah perjanjian hutang piutang yaitu: cicilan, tenor, bunga, hingga langkah-langkah yang ditempuh jika salah satu gagal dalam melaksanakan kewajibannya atau wanprestasi.
Yang sering kali menjadi pertanyaan banyak orang, apakah perjanjian hutang piutang tersebut dapat dilakukan oleh kedua belah pihak yang dimana mereka merupakan orang atau perorangan secara pribadi?
Jawabannya adalah benar seperti dugaan saudara bahwa perjanjian hutang piutang juga dapat dilakukan oleh orang pribadi dengan orang pribadi lainnya.
Lalu yang menjadi inti dari pertanyaan diatas tersebut adalah apakah upaya atau langkah hukum jika dikemudian hari salah satu pribadi wanprestasi?
Pada prinsipnya tidak ada ketentuan yang melarang orang pribadi untuk melaporkan orang pribadi lainnya ke pihak kepolisian karena tidak membayar hutang, sebab ini merupakan hak semua orang akan tetapi belum tentu persoalan tersebut dapat naik hingga ke proses pengadilan.
Sebab dalam perundang-undangan sesuai dengan hukum yang berlaku di Negara ini bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur bahwa sengketa utang piutang tidak boleh dipidana penjara. “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang,” demikian bunyi dari Pasal 19 ayat (2) tersebut.
Sehingga merujuk pada Pasal 19 ayat (2) ini, walaupun dengan adanya laporan polisi terkait dengan persoalan hutang piutang, pengadilan tidak dapat mempidanakan seseorang hanya karena tidak mampu membayar hutang.
Disinilah peran serta integritas para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat diharapkan tidak merusak sistem peradilan yang ada dengan mempidanakan suatu hukum perdata.
Perlu diketahui bahwa hukum perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan juga secara spesifik mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam juga tertuang dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Selain itu sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat 4 syarat (kumulatif) untuk memenuhi unsur suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Mungkin pernah dijumpai dalam suatu perjanjian hutang-piutang yang sudah tidak dapat terselesaikan secara persuasif, berbuntut pada laporan polisi dengan dalil mengacu pada Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Sebenarnya substansi dari perbutan pidana penggelapan maupun penipuan itu berbeda dari suatu perjanjian hutang-piutang yang adalah perbuatan hukum perdata. Akan tetapi berdasarkan logika hukum penulis bahwa tidak menutup kemungkinan untuk dapat dipidanakan selama unsur-unsur dalam pasal pidana tersebut terpenuhi yakni harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Contohnya: membuat perjajian dengan identitas palsu, tipu muslihat atau kebohongan-kebohongan lainnya, akan tetapi yang pastinya delik ini membutuhkan pembuktian secara hukum.
Diakhir kata penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada para pembaca semoga tulisan singkat dan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang membutuhkan referensi hukum. Salam sehat.