Wariskan Budaya Gawi Dalam Lantunan Lagu

Eman Bata Dede, Musisi dan pencipta lagu Gawi Ende-Lio

Ende,Kp 

Saya takut budaya tarian gawi hilang dari Kabupaten Ende. Satu saat pasti akan ada alih generasi, apakah generasi muda mampu menjalankan berbagai ritual adat, yang selama ini dijalankan. Begitu ungkapan awal dari sang legenda pencipta dan musisi kondang Kabupaten Ende, Eman Bata Dede, kepada media ini dikediamannya Selasa 20/4. Merubah dan mengaransemen syair adat kedalam lantunan nada lagu dan musik, sebagai upaya melestarikan budaya dan tarian gawi pada generasi muda. "Tarian gawi memiliki makna yang sangat mendalam dalam budaya kehidupan masyarakat Ende - Lio. Tarian gawi terdiri dari dua suku kata yaitu Ga dan Wi yang artinya menyatuhkan tangan dalam gerak dan lagu. Sedangkan gawi sendiri memiliki dua dimensi penting yakni Gawi Nggua, yang biasa ada pada saat ritual adat. Gawi nggua ini tidak pakai musik. Sedangkan Gawi Gai, bisa saja dilakukan dimana saja pada hajatan nikah, syukuran dan berbagai hajatan lainnya. Yang saya hidupkan kembali saat ini adalah Gawi Gai dan Gawi Gai ini bisa masuk pada Gawi Nggua." Ungkap Eman Bata Dede.
Dalam gawi sendiri memiliki satu filisofis struktur pada adat orang Lio, yang diramu dalam sebuah tarian. "Struktur dan filosofis Gawi terdiri dari Ulu yang melambangkan seorang pemimpin atau mosalaki. Sedangkan Du Ulu melambangkan para tua adat yang mengelilingi mosalaki atau yang mendukung mosalaki. Naku Ae melambangkan masyarakat atau aji (adik) anak. Sike Eko melambangkan pengatur atau pembantu menteri. Sementara Eko melambangkan panglima. Hango Nago merupakan barisan perempuan yang berada dibelakang lingkaran untuk memberi dukungan. Biarpun laki-laki perkasa tetapi tanpa Hango Nago atau perempuan dia pasti akan loyo. Dalam tarian gawi ada seorang perempuan yang menari sendiri dan biasanya dilakukan oleh anak mosalaki. Tarian ini sebagai lambang ketika memenangi perang, anak mosalaki menerima pedang setelah selesai peperangan." Ungkap Eman Bata Dede.
Bagi Eman Bata Dede musik merupakan pilihan hidupnya dan dia ingin mewarisi adat budaya Ende - Lio dalam lantunan irama musik. "Pada awalnya saya melihat budaya gawi semakin pudar ditengah masyarakat. Saya mencoba menghidupkan kembali budaya ini dipadukan dengan memasukan sentuhan musik. Respon awal saat itu banyak orang menyebut saya orang gila. Bahkan dari dalam rumah saya sendiri, saya mendapat penolakan. Tetapi saya tetap membulatkan tekat untuk terus berkarya dan melahirkan album Gawi perdana saya. Saya mendapat dukungan dari sanggar SVD dalam upaya pelestarian budaya. Pada saat itu masih dalam bentuk rekaman kasar belum berbentuk kaset, album perdana kita putar pada hajatan pesta nikah di Kampung Onekore. Tidak ada yang komando semua orang yang hadir, tua, muda, perempuan, laki-laki, besar kecil semua turun bepegangan tangan membentuk lingkaran dan mulai menari. Inilah cikal bakal awal gawi dalam bentuk lagu mulai populer diseluruh pelosok Kabupaten Ende. Saat ini banyak lagu gawi yang sudah diciptakan dengan berbagai tema yang ada dimasyarakat. Untuk etnis Ende tarian gawi dikenal dengan sebutan Gawi Naro." ceritra Eman Bata Dede.
Ada satu pengalaman yang pernah saya alami pula, saat masih di Jakarta. Saya bergaul dengan teman - teman saya dari etnis Ambon dan Batak. Tetapi waktu saya melantunkan syair lagu Gawi yang saya ciptakan saat itu teman saya bilang ini baru asli orang Ende Flores. "Saya bangga hari ini masyarakat begitu menerima tarian gawi dalam bentuk lagu dan menjadi kebanggan mereka. Walaupun pada awalnya saya disebut orang gila tetapi hari ini semua anak-anak ditanah Marilonga dan Bharanuri sudah mewarisi budaya gawi. Kita jaga budaya kita jangan sampai punah dengan cara apapun. Ini bagian dari tanggung jawab moral kita untuk mewarisi adat dan budaya kebersamaan dan persatuan dalam bentuk labtunan nada dan musuk. Karena tarian Gawi sungguh melambangkan persatuan, kebersamaan, semangat, gotong royong yang menjadi ciri dari masyarakat Ende -Lio." tutup Eman Bata Dede. (mg.15/s.1) 

Lebih baru Lebih lama